بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Kisah ini adalah bagian dari kisah saya di Pesantren Modern Nurul Iman-Bogor.
Semasa SMA, saya sempat merenung ketika memandang kitab – kitab tebal yang berbahasa Arab “seandainya saya bisa membaca tumpukan kitab itu, pasti sangat menyenangkan, tapi mungkinkah?” ada rasa pesimis di hati, karena tidak mungkin saya bisa berbahasa Arab, usia sudah tidak muda lagi. Lagian saya dari kecil tidak pernah belajar di madrasah. Dari SD-SMP-SMA, selalu sekolah umum, tidak pernah bersinggungan dengan Bahasa Arab di sekolah.
Akan tetapi semangat itu tumbuh ketika saya membaca novel “Negeri 5 Menara” di situ diceritakan bagaimana 5 santri yang awalnya sama sekali tidak bisa Bahasa arab, karena semangatnya mereka menjadi ahli Bahasa Arab dan Inggris. Mereka juga belajar di Pesantren Modern, yaitu Gontor. Bahkan ada salah satu santri, yang awalnya sangat susah memahami Bahasa Arab, suatu malam dia bermimpi berdialog dengan Bahasa Arab, lalu paginya dia merasa sangat mudah untuk mengucapkan Bahasa arab.
Dari situ saya semangat sekali untuk mengawali belajar di Ponpes Modern Nurul Iman – Bogor. Karena “modern”, di dalamnya sangat berbeda dengan pesantren lain. Yang paling menarik bagi saya yaitu adanya Bahasa asing yang diterapkan di pesantren, yaitu Bahasa Arab, Inggris, Jepang dan Mandarin. Karena dari awal minat saya adalah Bahasa Arab, maka saya sangat senang sekali untuk belajar Bahasa arab. Tapi bagaimana, saya sungguh-sungguh dari NOL, tidak tau apa-apa.
Pernah suatu hari ada kuliah umum, ustadznya dari awal bicara sampai terakhir selama +_ 2 jam, selalu berbicara dengan Bahasa arab. Hal ini membuat saya frustasi, karena saya satu pun tidak ada yang tahu artinya. Karena saya tidak mengetahui arti dari pembicaraan ustadz, saya meminjam buku teman di samping saya, ternyata isinya percakapan Bahasa Arab. Memang ada terjemah Bahasa Indonesianya, akan tetapi saya sangat bingung, bagaimana cara memahaminya,
saya ingat, ada kata فعلت. saya heran, kenapa ketika “ta” berharakat domah, artinya “saya bekerja”, tapi ketika “ta” berharakat fathah artinya kamu bekerja. Kok bisa, apa rumusnya. Di pikiran saya berkecamuk untuk memahami itu, semakin saya buka lembaran bukunya, semakin saya tidak paham, tapi semakin besar rasa ingin tahu saya.
Sudah berhari – hari rasa penasaran saya belum terpecahkan, kebetulan di suatu jalan pesantren, saya ketemu dengan santri senior, saya panggil Kang Sarip. Saya panggil dia, “kang tolong jelaskan, “ta” berharakat domah, artinya “saya bekerja”, tapi ketika “ta” berharakat fathah artinya kamu bekerja.” Dia pun menjelaskan jawabanya, saya Cuma menganggukan kepala, pura-pura paham, karena tidak enak, kalau tidak paham-paham. Padahal saya sama sekalii belum paham.
Sebenarnya saya frustasi, belum menemukan jawaban. Dan mungkin saya hamper menyerah. Tapi saya tidak mau putus asa. Suatu malam, saya temui lagi kang Sarip di Masjid, setelah shalat Isya. Saya bilang ke dia, kalau saya ingin diajar privat. “kang, tolong ajarin aku Bahasa arab. Teknisnya seperti ini, kamu nulis Bahasa arab, nanti aku menerjemahkan ke Bahasa Indonesia. Besoknya gentian, kamu nulis dalam Bahasa Indonesia, kemudian saya menerjemahkan ke dalam Bahasa Arab”.
Kang sarip pun menyanggupi permintaan saya, dan saya pun belajar berangsur-angsur dengan Kang Sarip. Ketika saya kesusahan menjawab sola dari dia, saya bertanya ke santri di samping saya ketika duduk di masjid. Padahal saya tidak tau dia, saya tidak peduli dengan rasa malu. Yang penting saya tau artinya. Setiap malam setelah shalat Isya, saya menemui Kang Sarip, menyetorkan jawaban. Berjalan kurang lebih sampai satu bulan. Selain itu, saya setiap hari menulis kosa kata yang belum saya ketahui di kertas kecil. Saya menghafalkan sambil menunggu makan malam. Pernah ada seorang teman, yang berusaha melunturkan semangat saya. Dia bilang “buat apa ngafalin seperti itu bay, nanti juga lupa lagi”. Dengan mantap saya menjawab “tidak apa-apa kalau lupa, paling tidak saya sudah pernah hafal”
Dan hasilnya masya Alloh, tidak menyangka. Kurang lebih dalam satu bulan, saya sudah bisa mempraktikan Bahasa Arab dengan beberapa teman. Saya merasa bahagia sekali ketika saya bertemu teman dan berbincang – bincang dengan Bahasa Arab. Saya selalu berbincang dengan teman yang sudah fasih dalam Bahasa Arab, salah satunya berasal dari Jambi, lulusan MA Cendikia. Dia sangat mahir Bahasa arabnya, karena selama MA, dia sudah terbiasa dengan Bahasa Arab. Ada juga yang berasal dari Aceh, Jawa Timur dan sebagainya. Yang ketika saya bertemu dengan mereka, entah di masjid, di jalan, di kamar dan dimanapun. Saya sering ngobrol dengan Bahasa Arab dengan mereka.
Salah satu momen paling berkesan ketika di kamar kami mengadakan muhadharah atau khitabah. Yaitu acara pidato atau ceramah di hadapan semua teman anggota kamar. Pengurus membagi ke dalam 3 bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab. Semuanya diperebutkan, kecuali Bahasa Arab, tidak ada yang berani memilih. Dengan mantap, saya memilih Bahasa Arab.
Saya pun membuat pidato Bahasa Arab dengan tema berbakti kepada orang tua. Atas bimbingan Kang Sarip, akhirnya di malam yang paling ditunggu, saya tampil di hadapan puluhan bahkan mungkin ratusan santri junior dan senior. Dengan mantap, saya berpidato dengan Bahasa Arab tanpa teks. Perasaan grogi pun menyelimuti saya, tapi ketika selesai, ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan. Penonton terheran – heran terutama santri senior, teman saya yang dulu hampir melunturkan semangat saya bertanya – Tanya “kok ubay sudah bisa Bahasa arab ya?”. Karena perlu diketahui, di pondok kami, Bahasa tidak diwajibkan, hanya untuk santri yang sadar.
Alhamdulillah, dalam waktu kurang lebih satu bulan, saya bisa menguasai Bahasa Arab secara lisan atau tulisan. Dan dengan Bahasa Aarb ini lah, di kemudian waktu, setelah saya keluar pesantren lalu masuk kuliah. Saya dekat dengan dosen-dosen hebat yang berbahasa Arab. Saya kenal dengan orang – orang Timur Tengah, bahkan saya mewakili kampus untuk Lomba Festival Bahasa Arab tingkat Nasional di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Juga dengan Bahasa Arab ini, Alloh memberikan saya kesempatan untuk mendapatkan beasiswa S2 dari Kementrian Agama.
Saya bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan bershalawat kepada Rasulullah SAW, dan berdo’a kepada Alloh untuk memberikan tempat termulia untuk guru kami Habib Saggaf BSA. Dan terimakasih kepada kedua orang tua saya yang doanya selalu menjadi kekuatan saya. Dan terimakasih pula untuk Kang Sarip.
Hikmahnya:
- Untuk mendapatkan sesuatu, jangan menyerah dengan keadaan sekarang.
- Libatkan Alloh di setiap keputusan yang kita ambil
- Rendahan hati, bukan kita yang hebat. Tapi Alloh yang memudahkan
- Do’a-do-do’a-do-do’a,Jangan menyerah. Terus lakukan. biarpun semua orang menghina.
- Belajar lah dari orang yang sudah berpengalaman
Alhamdulillah
wallohu a'lam
Bandung, 26 Mei 2018/10 Ramadhan 1439
Ngubaidillah A
Post a Comment
Post a Comment